Nias aku segera datang…….
Terngangah pada saat baru saja mendarat di Bandara Internasional Kuala Namu, Sabtu 26 April 2014 lalu. Inilah untuk pertama kali saya bisa melihat kemegahan bandara ini karena tahun lalu saat cuti dan kabur ke Medan, penerbangan masih di Bandara Polonia.

Kenorakan saya selanjutnya adalah melihat stasiun kereta api bandara ARS (Airpport Railway Station) yang keren.

Tempat pembelian tiket dan ruang tunggunya walaupun belum benar-benar selesai tetapi sudah membuatku terpesona seperti kamu memesonaku.

*sangat tepat digunakan sebagai venue fashion show*
*calling Anthony Vaccarello, Alexander Wang, or even Miuccia Prada to hold their shows here* #halah

Dengan harga tiket Rp65.000,00 (promo karena menggunakan AirAsia) untuk perjalanan yang ditempuh selama sekitar 37 menit dan kereta yang senyaman ini, maka sangat tidak rugi uang yang kita keluarkan.

Sesampainya di Medan, saya disambut Dior, Mbak Tesa, dan Mas Gandy. Sesuai permintaanku, maka kita berkumpul di Martabak Gapa yang di dekat stasiun. Selain martabak, di sini yang terkenal adalah roti tisue (yang mirip rumah semut raksasa di Merauke yang pernah dikirimkan fotonya oleh teman saya yang sempat bertugas di sana) dan nasi gorengnya.



Setelah berpisah dan ditraktir sebagian oleh Dior, maka saya, Mbak Tesa dan Mas Gandy menuju Ucok Durian. Banyak dan enak-enak kali durian di Ucok. Satu buah durian yang kami nikmati waktu itu seharga Rp30.000,0. Yeeeahh akhirnya saya tahan bau durian bahkan kuat makan setengah buah. (^.^)/

Dan malam itu saya nebeng di rumah Mbak Tesa dan Mas Gandy. Lalu Minggu pagi pukul 5.50 WIB sudah diantar Mas Gandy menuju stasiun untuk segera terbang dengan pesawat Wings Air pukul 08.15 WIB ke Gunungsitoli di Nias. Selalu merepotkan pasangan ini deh setiap ke Medan.


Pukul 7 kurang saya sudah di Kuala Namu jadi bisa foto-foto bandara lagi. Raung tunggunya cukup luas dan bagus.

Sekitar pukul 8.00 WIB para penumpang dipersilakan naik ke pesawat WingsAir dan ternyata bagasi berada di bagian depan pesawat sedangkan penumpang masuk dari bagian belakang pesawat. Saya hanya tahu bahwa saya akan naik pesawat kecil dengan baling-baling.

Saya semakin terkejut ketika mengetahui bahwa saya ternyata memilih tempat duduk tepat di samping baling-baling (bambu). Saya bisa dengan jelas melihat perputaran baling-baling yang bunyinya cukup berisik tersebut. *komat-kamit berdoa*

Setelah melewati Samudra Hindia yang dirundung awan gelap dan hujan, alhamdulillah saya akhirnya bisa menginjakkan kaki di Bandara Binaka Nias.

Pada saat mendarat ini saya masih belum tahu bagaimana cara ke Kota Gunungsitoli dari bandara ini. Setelah lirik sana-sini melihat profil orang-orang sekitar, saya memutuskan untuk bertanya pada salah satu penumpang yang juga baru turun dan sedang duduk. Soni, begitulah namanya yang merupakan penduduk asli Nias dan bekerja sebagai seorang PNS di salah satu Pemkab di sana yang ternyata juga akan ke Gunungsitoli. Saya dan Soni serta beberapa ibu menuju Gunungsitoli menggunakan angkot yang berupa mobil Avanza dengan tarif Rp35.000,00 per orang. Para supir angkot ini banyak di sekitaran pintu kedatangan Bandara Binaka tetapi kita harus cermat karena banyak supir yang menawarkan untuk menyewakan mobil dan mengantar kita dengan biaya sekitar Rp350.000,00 hingga Rp500.000 untuk tujuan Teluk Dalam. Info yang saya dapat di internet hanya menyebutkan bahwa jika tidak ingin menyewa mobil ke Teluk Dalam maka kita harus ke Gunungsitoli baru melanjutkan dengan angkot menuju Teluk Dalam maka dari itu saya memutuskan untuk bagaimana yang penting sampai Gunungsitoli saja dulu. Dalam perjalanan, saya mendapat masukan dari Soni, ibu-ibu serta supir angkot tersebut tentang di mana sebaiknya saya menginap di Gunungsitoli sebelum melanjutkan perjalanan ke Teluk Dalam yang merupakan tujuan utama saya. Supir angkotku bernama Pak Lian (081370466040), Bapaknya sangat ramah dan enak diajak ngobrol, musik di mobilnya pun juga lumayan oke; dari Bruno Mars, Natalie Imbruglia, Jose Mari Chan, hingga lagunya Keith Urban yang Making Memories of Us yang langsung membuat suasana hujan gerimis di pagi itu jadi lalalala
“… and I’m gonna love you like nobody loves you, and I’ll earn your trust making memories of us”
Saya diantar Pak Lian ke Hotel Nasional di Jalan Kelapa nomor 55 Gunungsitoli telp 0639-21018 dengan tarif kamar yang saya pilih tentunya yang paling murah yaitu Rp200.000,00 per malam. Saya memilih menginap di hotel ini karena letaknya cukup strategis dan banyak tempat makan yang halal di sekiatr hotel ini sesuai rekomendasi selama di angkot dari bandara. Selain Hotel Nasional, di sini juga terdapat beberapa hotel lain yaitu Hotel Mega Nasional di jalan arah bandara, Hotel Tinca di dekat pelabuhan, serta penginapan yang ada di komplek Museum Pusaka Nias. Hotel-hotel selama perjalanan saya nanti akan saya buat daftarnya tersendiri beserta foto dan tarifnya.

Di samping Hotel Nasional terdapat rumah makan padang yang enak dan murah banget. Seporsi gule kepala kakap, nasi putih 2 porsi, dan sepiring sayur dihargai Rp15.000,00 saja. Juara banget.

Setelah makan dan hujan gerimis sudah tiada, saya naik becak Rp10.000,00 dari hotel ke Museum Pusaka Nias. Becak di sini adalah becak bertenaga motor.
Museum Pusaka Nias terletak di jalan menuju pelabuhan jika kita dari pusat kota Gunungsitoli. Untuk memasuki kompleks museum ini, kita harus membayar Rp4.000,00.

Kita bisa menikmati pantai yang indah yang biasanya dipenuhi oleh muda-mudi di sana pada sore hari saat hari libur, kebun binatang mini, dan terdapat aula unutk kebaktian,serta melihat beberapa peninggalan bersejarah yang berada di luar gedung museum.

Untuk memasuki gedung Museum Pusaka Nias kita harus membayar lagi Rp5.000,00 agar bisa menyaksikan ribuan benda peninggalan budaya yang disimpan dalam museum. Museum Pusaka Nias terdiri dari beberapa gedung yang terhubung dengan tema koleksi masing-masing gedung berbeda. Akan tetapi, kita tidak diperkenankan memotret koleksi museum dengan alasan bahwa agar menimbulkan ketertarikan bagi calon pengunjung. Ada berbagai perhiasan, adu (patung), peralatan rumah tangga, miniatur rumah adat, hingga koleksi foto-foto rumah adat khas Nias yang tersebar di seluruh penjuru pulau serta daftar NGO yang membantu merehabilitasi Nias setelah gempa dan tsunami hampir satu dekade yang lalu.

Di komplek Museum Pusaka Nias ternyata kita bisa menginap dengan membayar biaya sewa antara Rp50.000,00 hingga Rp150.000. Rumah adat seperti tergambar di bawah ini disewakan dengan harga Rp150.000 per malam. Jika tertarik untuk bermalam di rumah adat ini, silakan menghubungi Fili di 082361966991.


Sekitar pukul 15.00 WIB, kompleks museum mulai banyak didatangi warga yang akan nongkrong-nongkrong bercengkerama di pinggir pantai maupun jemaat yang akan kebaktian di salah satu hall yang tersedia di sini. Ada yang naik pick up, motor, bus kecil, mobil, dan naik becak motor seperti yang saya lakukan.

Setelah sekitar 4 jam berkeliling kompleks museum dan ngobrol ngalor ngidul dengan Fili dan temannya, saya melanjutkan perjalanan ke pelabuhan Gunungsitoli yang hanya berjarak sekitar 400 meter dengan berjalan kaki.

Pelabuhan ternyata sedang sepi karena setiap hari Minggu katanya tidak ada kapal yang berangkat ke Sibolga. Saya kemudian naik becak untuk berkeling kota ke Lapangan Merdeka yang katanya jika sedang musim durian di situ merupakan pusat jual beli durian tetapi sayang sedang tidak musim durian. Lalu ke kompleks pemerintahan dan beberapa pasar,



Serta ke stadion “Lapangan Bola Kaki Pelita” untuk sejenak menyaksikan pertandingan sepak bola.

Muter-muter dengan becak ini cukup membayar Rp20.000,00 hingga saya diantar kembali ke hotel dan langsung makan nasi goreng. Nasi goreng pakai kuah. Dan aku coba. Lumayan.

Hotel Nasional ini mempunyai pemandangan pantai di belakang hotelnya. (minta difotoin mas-mas pegawai hotel)

Malam harinya sebelum tidur, saya makan lagi, kali ini gado-gado.

Senin, 28 April 2014, sekitar pukul 05.30 WIB saya sudah duduk-duduk manis di pinggir pantai di belakang hotel menunggu saat matahari muncul.

Acara menggalau di pantai pagi itu telah selesai dilanjutkan dengan sarapan sebungkus nasi goreng yang disediakan oleh hotel.

Dan dapat gratisan godok tinta. Semacam jemblem atau comro(?) yg terbuat dari ubi dikukus, lalu ditumbuk, digoreng, dan diberi gula pasir.

Di saat sarapan inilah saya bertemu dengan seorang tamu hotel. Tamu di hotel ini kebetulan cuma 5 atau 6 orang. Andik, seorang karyawan perusahaan kelapa sawit di daratan Sumatra yang sedang mencari karyawan di Nias untuk dibawa ke Sumatra. Saya katakan pada Andik bahwa pagi ini saya berencana pergi ke Teluk dalam menggunakan angkot yang saya pesan melalui Pak Lian. Andik ternyata berminat juga untuk ke Teluk Dalam karena pekerjaannya sudah hampir selesai sehingga dia bisa refreshing sejenak. Berangkatlah kami sekitar pukul 09.00 dengan menggunakan angkot berupa mobil APV di mana posisi dan komposisi penumpang adalah sebagai berikut: Supir, penumpang 1 dan Andik di bagian depan, 4 orang ibu di bagian tengah, aku duduk di bagian kiri belakang dengan seorang ibu dan 2 penumpang pria di sebelahku, serta seorang kenek angkot dudul nyempil di bagasi. Mobil APV ke Teluk Dalam diisi 12 orang penumpang dengan waktu tempuh sekitar 3 jam dan jarak sekitar 100km dari Gunungsitoli dan jalur yang berkelak-kelok dan lobang di sana sini. Biaya naik angkot ini Rp60.000,00/orang walaupun pada awalnya sih katanya Rp50.000,00 tapi tiba-tiba naik Rp10.000,00 gitu.

*foto saat penumpang masih 7 orang
Pemandangan menuju Teluk Dalam sangatlah indah, walau kadang agak terganggu pemandangan penduduk yang menjemur pakaian dengan digeletakin sembarangan di pinggir jalan atau di halaman rumah di samping pinang yang juga mereka jemur. Musik juga bergema di sepanjang jalan. Dari lagu-lagu Batak, Nias, dangdut koplo, tembang kenangan, semua ada. Lagu yang membuatku terkenang di perjalanan itu liriknya begini:
Madu.. madu.. orangnya manis semanis madu, membuat hatiku jadi rindu….

Sekitar pukul 12.00 WIB kami sampai di Simpang Lima, Teluk Dalam dan kami memutuskan untuk naik ojek untuk berkeliling dari satu objek ke objek wisata lainnya. Kami kontrak satu ojek seharga Rp100.000,00 dengan waktu sampai sekitar Maghrib.

Kami diantar ke Lompat Batu atau Fahombe yang terkenal di Desa Bawomatauo. Karena sedang tidak ada perayaan, agar dapat menyaksikan lompat batu, kita bisa membayar Rp150.000,00 untuk satu lompatan pada batu setinggi kira-kira 2 meter. :O Sang pelompat hanya butuh waktu sekitar 10 menit untuk berganti baju dan stretching sebelum melakukan lompatan.

Adik-adik yang baru pulang sekolah membantu mengambilkan foto-foto dengan kemampuan yang mumpuni. Para wisatawan tentunya tidak ingin kehilangan momen berfoto dengan adegan lompat batu seharga Rp150.000,00 sekali lompat ini dong. Dan berfoto memakai atribut pelompat batu langsung di Nias bukan hanya berfoto a la pelompat batu yang ternyata pernah kulakukan di TMII beberapa tahun yang lalu.


Tidak lupa berfoto dengan sang pelompat (indah) batu.

Di depan semacam balai pertemuan atau rumah utama di desa ini.

Di dalam balai pertemuan yang berhiaskan tengkorak kerbau.

Di tempat ini, adik-adik yang tadi membantu memotret kami di depan serta beberapa bapak yang mendampingi kami melihat-lihat bangunan ini memulai bergerilya menawarkan aneka suvenir seperti kalung, gantungan kunci, patung kayu, gelang. Akhirnya saya membeli beberapa kalung dan gantungan kunci yang harganya Rp25.000/buah (agak mahal tapi ya sekaligus sebagai ucapan terima kasih buat adik-adik tadi), serta sebuah patung kayu berbentuk orang Nias yang membawa papan surfing dari seorang bapak yang awalnya ditawarkan Rp200.000 tetapi akhirnya dilepas seharga Rp50.000 pada saat saya mau meninggalkan tempat ini.

Desa Bawomatauo ini katanya sangat padat karena penduduknya hampir 6000 orang di sepanjang mata memandang depan, kanan dan kiri dari lokasi lompat batu. Kendaraan bermotor dilarang untuk dihidupkan jika sudah memasuki sekitar lokasi lompat batu.

Setalah selesai melihat Desa Bawomatauo, kami melanjutkan perjalanan ke Sorake. Di tengah perjalanan, kami mampir makan di sebuah warung yang terlihat lumayan oke dan bertuliskan Arek Suroboyo. Hore, menemukan tetangga dari Jawa Timur di daerah nan jauh seperti ini.

Saya memilih mencicipi pecal yang merupakan pecel dimodifikasi dengan selera Teluk Dalam.

Bapak Tukang Ojek memilih menu ayam.

Di warung Anisa ini tersedia juga beraneka kue seperti galametura (nagasari yang tanpa isi pisang, hanya tepung dan santan), lapek (sejenis bugis atau mendhut), donat, risoles, dan roti. Cukup kreatif dan lengkaplah makanan di warung ini.

Galametura yang enak. (Kue-kue lainnya juga enak-enak)

Sebelum melanjutkan perjalanan ke pantai Sorake, saya berfoto terlebih dulu bersama Bu Tutik yang sudah sekitar 17 tahun tinggal di sini dan merintis warung yang kata Pak Ojek merupakan warung termasyur dan laris serta merupakan contoh transmigran sukses.

Here we come. Sorake.

Rencana awal sih kami mau muter-muter saja dan menginap di Teluk Dalam agar lebih mudah kembali ke Gunungsitoli, tetapi apa daya pemandangan di pantai ini sunnguh indah sehingga kami memutuskan untuk menginap saja di sini dan meminta ojek untuk menjemput kami keesokan hari pukul 06.00 WIB. Setelah melihat beberapa homestay, kami memutuskan untuk menginap di Homestay Crusoes yang tarifnya Rp200.000/malam dengan fasilitas AC dan kulkas serta view pantai Sorake dari balkon.


Setelah berganti pakaian, aku dan Andik siap mencoba menjelajah pantai. Tiba-tiba Andik mengajak bermain surfing. Dengan bermodal Rp50.000 kami sewa papan selancar dari warga sekitar homestay yang bisa dipakai seharian dan harganya tetap sama walau kami sewa pada pukul 15.00 WIB. Aku sih belum pernah surfing, sedangkan Andik katanya pernah beberapa kali surfing di daerahnya. Anak-anak pantai di situ bisa mendampingi kita belajar surfing dengan tarif sukarela dan tawar-menawar sambil menyewa papan dan akan mengejar-ngejar untuk mendampingi bermain surfing sepanjang kita tidak mengiyakan tawaran pendampingan mereka. Cuekin sajalah walau memang mengganggu.

Pantai di Sorake ini penuh dengan karang yang tajam sejauh kira-kira 200 meter dari bibir pantai sebelum akhirnya bisa memulai berenang menuju tempat surfing yang jaraknya sekitar 200 meter juga. Dengan karang yang tajam ini, saya sarankan lebih baik memakai sepatu daripada kaki kesakitan duluan sebelum bermain surfing. Tapi dari beberapa bule yang saya lihat hanya ada dua orang yang memakai sepatu sedangkan sebagian besar berjalan pelan-pelan memilih-milih jalur dengan karang yang agak tidak tajam dan ini cukup membuang waktu.

Kata Andik, aku tinggal nyemplung dan berenang saja dengan menunggangi papan hingga tempat berkumpul dan bermain surfing. Dan dengan modal nekat maka mulailah aku menaiki papan dan nyemplung air. Apa daya untuk menyeimbangkan badan saja susah hingga leher serasa tengleran dan tangan pegel banget. Andik sih sudah jauh di depan meninggalkanku yang masih terombang-ambing sambil komat-kamit berdoa agar bisa segera kembali ke tepi pantai saja. Akhirnya setelah dengan perjuangan setengah mati, aku bisa sampai di tempat berkumpul dan bersiap menerima serbuan ombak yang saat itu tingginya sekitar 5-6 meter katanya. Tiba-tiba ombak besar sudah membawaku dan terasa sangat nikmat berada di puncak ombak untuk sejenak, lalu terbawa ombak lagi beberapa kali dan masih nikmat hingga akhirnya aku tersiram ombak dan tenggelam. “Harus muncul di permukaan. HARUS.” gitu doang pikiranku sambil buru-buru menarik foot string yang mengikat kakiku dengan papan. Alhamdulillah berhasil. Baru berhasil kembali menunggangi papan dan sudah guyur ombak lagi. Tenggelam lagi. OK, I’m done deh surfingnya sambil meripit menunggu kesempatan ombak tidak terlalu besar untuk menepi ke kiri tempat surfing yang dipenuhi karang. Walala walau ecek-ecek yang penting foto dengan papan surfing.

Secara awalnya hanya akan bermain-main di pantai, aku salah kostum dengan memakai celana boxer ungu polka dot ini padahal aku membawa celana renang. Walhasil saat terombang-ambing ombak tiba-tiba celana ini sobek di bagian selangkangan. -__-”

Setelah surfing sekitar sejam, kami jalan-jalan menyusuri pantai Sorake hingga ke Barriga Surf Camp. Barriga ini menurut saya homestay yang paling oke di Sorake, ratenya Rp250.000 hingga Rp350.000 per malam dan ada restorannya yang terlihat oke.

Serasa sedang napak tilas…

Kate Moss dan Gisele Bundchen pemotretan Versace Spring/Summer 2009.

Duduk-duduk di atas batang pohon yang terdampar di atas karang sambil foto-foto.

Bule dan anak-anak lokal yang sedang menikmati pemandangan pantai dan para surfer yang beraksi.

Ternyata ada tempat nongkrong dengan pemandangan paling dekat ke tempat surfing yaitu Hash & Family Surf Camp. Tempatnya cozy dan bersih. Ratenya juga Rp200.000/malam dengan fasilitas AC juga. Bisa pijat ibu-ibu ini juga, tarifnya Rp100.000/jam. Bukan pijat plus-plus dan tarif sama baik bule maupun orang lokal (tapi bisa ditawar dengan alot hingga jadi Rp80.000/jam seperti yang Andik lakukan).

Pine apple and avocado juice. @Rp15.000,00

Sunset view from our room.

Untuk makan malam, kami berjalan ke ujung lagi, yaitu ke Barriga yang restorannya saya bilang cukup OK tadi.
Ikan smedang yang dibakar tanpa bumbu, tumis sayuran, sambal potongan cabe+kecap asin, sambal kecap, 2 porsi nasi, dan 2 gelas air putih untuk dinner di Barriga seharga Rp105.000. Harga ikan di Teluk Dalam sini memang mahal. Beda dengan di Gunungsitoli yang harga ikannya murah-murah karena konon jumlah ikan lebih banyak daripada jumlah orangnya. -___-”

Ikan smeda ini enak banget, durinya jarang

Kami berangkat makan malam sekitar pukul 20.00 di mana saat itu sudah sangat sepi bahkan tidak ada orang mondar-mandir atau terlihat, apalagi saat kami selesai makan pukul 21.00 WIB. Bule-bule mungkin pada lelah setelah surfing seharian.
29 April 2014, pukul 06.30 WIB bapak-bapak ojek datang dan kami langsung berangkat menuju Teluk Dalam yang berjarak sekitar 17 KM dari Sorake.

Anak sekolah berangkat menggunakan odong-odong hingga bergelantungan.

Singgah sejenak ke rumah salah satu tukang ojeg untuk melihat peternakan babinya.

Sampai di Simpang Lima, Teluk Dalam dan melanjutkan perjalanan dengan angkot yang sudah nangkring di situ.

Untuk tarif pagi cukup mahal yaitu Rp100.000,00 per orang karena biasanya agak buru-buru karena harus mengantar calon penumpang pesawat. Seperti yang kami alami waktu itu, HANYA 2 JAM saja perjalanan Teluk Dalam hingga Bandara Binuka padahal normalnya sekitar 3 jam. Ugal-ugalan pol-polan dengan jaminan tidak akan ketinggalan pesawat. -_____-”

Sekitar pukul 9.30 WIB kami tiba di Hotel Nasional karena saya harus mengambil colokan listrik T saya yang ketinggalan lalu kami sarapan di rumah makan padang murah meriah dan enak banget di dekat hotel. Saya kembali memesan gule kepala kakap yang enakkkkk.

Sesuai rencana, bahwa Andik akan mengambil para calon kayawannya di Nias Utara dan malam ini akan menyeberang ke Sibolga dengan kapal laut. Tetapi karena belum mendapat kiriman uang untuk membeli tiket kapal dan akomodasi para calon karyawan, saya mengantar Andik ke salah satu bank untuk mengambil uang.

Setelah uang di tangan, Andik mengajak saya ke tempat pembelian tiket kapal di depan Pelabuhan Gunungsitoli. Di pelabuhan ini jika kita ingin membeli tiket kapal hanya bisa dilakukan di agen-agen di sekitar depan pelabuhan karena tidak ada loket penjualan di pelabuhannya. Harga tiket untuk kelas ekonomi Rp80.000, kelas VIP 120.000, dan kamar Rp200.000,00.

Di agen tiket kapal di Pelabuhan Gunungsitoli ini juga tersedia warung untuk makan dan menunggu bagi calon penumpang kapal.

Setelah tiket siap, saya ikut Andik menjemput para calon karyawan ke Nias Utara dengan menggunakan mobil carry yang dia sewa. Iya yang ini nebeng gratisan emang dan menambah penuh sesak mobil yang kecil ini untuk calon penumpang yang sekitar 10 orang kata dia.

Lokasi penjemputan ternyata cukup terpencil dengan melewati perbukitan dan tanjakan serta turunan yang bisa mencapai sekitar 45 derajat dengan pemandangan kanan kiri jurang.

Penjemputan juga tidak mudah karena harus negosiasi lagi dengan keluarga dan calon karyawan yang akan diajak merantau. Saya sampai trenyuh melihat salah satu calon karyawan yang membawa serta istri dan 2 anaknya yg masih balita. Calon karyawan satunya membawa istrinya yang baru dinikahi 2 bulan. Dari adegan pamit yang mengharukan hingga negosiasi dengan kunjungan tetangga sekitar yang ikut nimbrung sambil minum tuak dicampur oplosan minuman energi. Biaya perjamuan seperti ini yang cukup melelahkan dan membutuhkan uang yang lumayan, apalagi kata Andik sempat mengadakan makan malam sambil minum-minum bagi calon para karyawan.

Sambil menunggu calon karwayan berkumpul di pemberhentian kedua, saya main-mainlah ke pantai Fufula Indah bersama adik-adik driver dan kenek.


Sambil gantian difotoin sama mereka.



Dan setelah semua calon karyawan siap, mobil carry berangkat menuju pelabuhan Gunungsitoli lagi dengan 1 driver, 2 ibu muda dan 1 balitanya di depan, saya, 1 calon karyawan dan 1 balitanya serta Andik di bagian tengah, 2 calon karyawan, 2 penumpang naikin di jalan dan setumpuk barang bawaan di bagian belakang berhadap-hadapan, kenek bergantungan, serta 3 calon karyawan dan seorang rekan Andik yang meupakan warga lokal yang ikut mencari karwayan menggunakan motor ke pelabuhan.

KMP Belanak berangkat dari pelabuhan Gungsitoli menuju Sibolga sekitar pukul 20.00 WIB tetapi penumpang sudah mulai naik ke kapal sejak pukul 17.00 WIB.

Suasana di dalam kapal untuk penumpang kelas ekonomi. Riuh, panas, penuh penumpang. Banyak anak kecil yang menangis, ada musik dangdut bergema, ada tayangan televisi di bagian tempat penjualan makanan.

Suasana di bagian VIP. Kursinya cukup nyaman, tetapi terkadang ada sejenis anak kecoak yang muncul dari sela-sela kursi.

Penumpang VIP bisa menyewa matras untuk tidur di sela-sela ruang VIP yang kosong.

Ruang nahkoda dan awak kapal.

Foto-foto di geladak kapal dulu 😀

Suasana persiapan memasuki pelabuhan Sibolga. Ada ibu-ibu yang masih mengisi ulang baterai ponselnya dari colokan listrik yang tersedia di ruang VIP.

Penumpang mulai turun kapal sekitar pukul 08.30 WIB.

Si Yogi digendong ibunya.

Foto dengan adik baru saya yang nempel terus sejak mulai masuk mobil saat di Nias Utara.

Dan mereka semua pergi menuju lokasi merantau di perkebunan kelapa sawit. It’s my pleasure to meet you all.

Saatnya melanjutkan petualangan…