Jumat 1 Mei 2014, pukul 16.30 WIB saya dan Kokoh sampai di Sun Plaza untuk menemui Mbak Tesa dan Mas Gandy setelah insiden paha saya dipegang bapak tua di Masjid Raya Medan yang mengagetkan saya. -,-
Saya meminta bertemu di Sun Plaza agar dapat mencicipi pancake alpukat di Nelayan sini. Walhasil nongkronglah aku, Kokoh, Mbak Tesa dan Mas Gandy di Nelayan yang lantai 4. Mbak-mbak pramusaji di sini ada yang berkeliling menawarkan makanan yang sudah siap makan juga untuk kita embat seperti pancake durian dan beraneka camilan dan dimsum seperti di Nelayan cabang lain. (Di Nelayan Merdeka Walk)
Ketika ditanya pramusaji aku langsung pesan pancake alpukat, tapi juga langsung ambil pancake durian yang ditawarkan. 2 buah pancake durian dihargai Rp35.000,00. Pancake durian di Nelayan ini sungguh enak.
Minumnya aku ikut Kokoh, es teh bunga yang sangat menyegarkan dengan potongan bunga seharga Rp14.000,00/gelas.
Kokoh pesan pau ayam panggang dan pau salju spesial panggang yang seporsinya Rp18.000,00 yang enaaaaak banget.
Dimsum dan sio may di Nelayan itu enaknya sampai ubun-ubun seperti enaknya selai srikaya Roti Ganda. Tapi lebih enak selai srikaya Roti ganda sih. #teteup
Foto khusus buat pamer ke Sapar kalau lagi di Medan.
Mbak Tesa dan Mas Gandy pesan sio may sayur hitam, sio may udang, dan ha kou kepiting yang harganya sekitar Rp18-22.000,00. Saya yang belum pernah ke Aceh mulai interview para master ini yang sudaa beberapa kali ke Aceh. Kalau Kokoh suka menginap di Freddies Sumur Tiga karena tempatnya cozy, banyak bule, dan dekat kota. Kalau Mbak Tesa dan Mas Gandy suka menginap di Iboih karena bisa snorkling langsung di depan homestay tapi agak jauh dari kota. Untuk urusan menginap saya putuskan nanti saja, sekarang masalahnya berapa lama saya akan tinggal di Sabang dan kapan harus kembali karena tiket balik saya dari Medan adalah Sabtu 3 Mei 2014 pukul 20.15 WIB. Pada awalnya saya berencana kembali ke Medan dari Aceh menggunakan Lion Air 3 Mei 2014 sore biar tiket promo saya yang malamnya bisa dipakai, apadaya Kokoh menghasut agar aku balik langsung ke Jakarta saja minggu sore agar lebih puas di Aceh. Bingung dong dan belum bisa memutuskan mau balik kapan.
Setelah menunggu hampir satu jam, dan beberapa kali ditanya, ternyata pancake alpukat pesanan saya tidak ada karena sudah habis. Lah??? Katanya tadi sebentar mau diambilin kok malah habis setelah sampai garing menunggu gini. Gagal makan pancake alpukat yang saya idam-idamkan deh. Acara nongkrong kali ini disponsori Kokoh yang mempunyai kartu Nelayan sehingga dapat diskon 15%. Lumayan banget kan???
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.45 WIB dan saya harus segera meluncur ke rumah Mbak Tesa agar bisa siap-siap untuk keberangkatan ke Aceh yang kurang dari 3 jam lagi. Mbak Tesa dan Mas Gandy pulang naik motor. Saya dan Kokoh naik taksi. Saat menunggu taksi di lobi Sun Plaza, saya baru tahu betapa famous Kokoh di mal ini. Secara dia dari nonton, ngegym, ngupi-ngupi cantik sepertinya sering ke mal ini. Tujuan pertama adalah ke rumah Kokoh buat ngedrop dia lalu saya lanjut ke Rumah Mbak Tesa.
Sesampainya di rumah Mbak Tesa, aku masih menimbang-nimbang bagaimana dan kapan sebaiknya balik ke Jakarta. Dan akhirnya……. saya memutuskan untuk balik ke Jakarta hari minggu saja dengan Lion Air yang pukul 16.30 langsung dari Aceh dan membiarkan tiket promo saya hangus DAN gak bakal ada waktu buat mencuci pakaian serta istirahat sehari sebelum masuk kantor lagi seperti yang awalnya saya rencanakan. Tiket yang saya dapat juga lumayan, Rp900.000 padahal lumayan high season karena long weekend. Terima kasih kartu kredit yang membantu menunda pembayaran hingga bulan depan. SEMUA DEMI KE ACEH. (^.*)/
Pukul 20.00 WIB setelah mandi dan beres-beres, saya diantar Mas Gandy ke pool bus Sempati Stars yang letaknya di ring road dekat rumah mereka. Ternyata di sekitar ring road banyak pool bus malam ke Aceh. Sekitar 5 menit perjalanan, saya sudah sampai di pool bus Sempati Star yang WOW banget. Saya belum pernah menemukan pool bus sebagus, selengkap dan senyaman ini di Jawa.
Ada ruang tunggu smoking dan non smoking area, mini market, ATM, kantin, oke banget lah.
Seperti kata Mbak Tesa saat saya minta untuk pesankan tiket, dia memilihkan bus yang bagusnya nomor 2, karena bus yang paling bagus sudah penuh dan bus yang dia pesankan pun saya dapat di pojok belakang. Saya sempatkan untuk tanya-tanya mbak yang jaga tempat pembelian dan penukaran tiket serta melihat tarif dan tujuan bus. Bus yang paling mahal, yang Rp250.000,00 itu, katanya kalau lagi jalan yang kurang rata tetap terasa halus dan enak buat penumpang karena ada teknologi apa entahlah.
Akhirnya setelah menunggu sejenak dan agak telat dari jadwal keberangkatan pukul 20.30 WIB, bus datang sekitar pukul 20.45 WIB dan saya langsung antre masuk bus demi milihat bus non stop AC yang Mbak Tesa super spektakuler.
Saya mlongo melihat di Indonesia ada bus sebagus ini. Secara saya belum pernah dan belum ada rencana ke luar negeri serta selama ini bus paling bagus yang pernah saya gunakan adalah bus kelas SE (Super Executive) untuk jurusan Cirebon-Malang yang sudah lama tidak saya tumpangi.
Bukan bus yang paling mahal saja sebagus ini, bagaimana dengan yang paling mahal???
*elus-elus kursi, bantal dan selimut* *benar-benar tebal dan nyaman*
*sibuk foto* *biarin dikata norak ama penumpang lain* *paling belakang juga* 😀
*pakai selimut dan siap tidur dalam perjalanan melewati jalan yang halus mulus aspalnya(?)*
Jumat 2 Mei 2014 pukul 6.15 WIB, bus sudah tiba di terminal Kota Banda Aceh. Sesuai saran Mbak Tesa dan Kokoh, maka saya langsung naik ojek yang dikendarai Pak Arjuna, bisa dihubungi di nomor 085370622265,yang biasa mangkal di terminal sini.Tarif ojek sebesar Rp25.000,00.Pak Arjuna ini orangnya ramah dan langsung menyodorkan peta wisata Aceh ke saya.Selama dalam perjalanan sekitar 15 menit dari terminal ke Pelabuhan Uleelheu, saya membaca sekilas peta wisata tersebutdan dapat penjelasan singkat objek wisata apa saja di Kota Banda Aceh ini. Jika kita berdua, bisa juga naik becak motor dengan harga sekitar Rp25.000,00-30.000,00. Atau bisa juga menyewa mobil dengan tarif sekitar Rp100.000-150.000,00 tergantung pintar tidaknya menawar. Saya nekat memakai celana pendek dari terminal ke pelabuhan dengan pertimbangan masih pagi dan di pelabuhan katanya banyak turis pakai celana pendek. Semoga tidak ditangkap polisi syariah deh.
Pukul 6.30 WIb lebih sedikit saya sudah tiba di pelabuhan. Berkeliling melihat loket yang kata Mbak Tesa mending langsung antre saja biar tidak kehabisan tiket. Tapi karena saat itu masih sepi banget, jadinya aku sarapan Roti Ganda isi selai srikaya yang kubawa dari Siantar dan memesan teh anget manis di salah satu warung.
Setelah sarapan, saya kembali ke loket tiket Bahari Express untuk antre dan tetap masih sepi sehingga saya bisa antre nomor 1. Saat antre ini, saya melihat segerombolan orang yang baru tiba di pelabuhan dan langsung foto-foto dekat loket. Sepertinya saya tidak asing dengan wajah-wajah itu. Rombongan itu kemudian juga antre tiket di loket kapal yang sama dengan saya. Saya bertanya kepada seorang Mas yang sepertinya koordinator rombongan. Usut punya usut, ternyata kami sebus Sempati Stars semalam. Sambil ngorbol sana-sini, saya yang sendirian di tanah orang ini, akhirnya diajak bergabung dengan rombongan itu. Mungkin Mas Putra dkk ini kasihan dengan saya. Atau saya yang tidak tahu malu dan memancing-mancing agar diajak gabung rombongan itu?? -,-
Rombongan kawan-kawan baru yang berjumlah 8 orang ini dari Medan ini berasal dari salah satu perusahaan perkebunan termasyur di Medan. Dengan koordinator Mas Putra, beranggotakan Om Ewin, Pak Syahril, Pak Parno, Om Ikram, Singh, Arjun, dan Mager. Yeee…. senangnya hatiku tidak sendiri lagi berkelana. Sambil menunggu inilah, tiba-tiba ada Pak Marta dari Bahari Express yang sedang mengecek loket Bahari Express dan kami langsung tanya-tanya tentang tiket kapal. Pak Marta (081360515080) membantu kami untuk membeli tiket kelas bisnis yang katanya hanya dijual untuk sekitar 15 orang seharga Rp65.000,00 per orang tanpa perlu menunggu loket yang baru akan buka sekitar 1 jam lagi pada pukul 8.00 WIB. Tinggal mengumpulkan uang dan kami bisa menunggu di ruang tunggu atau foto-foto di sekitar pelabuhan.
KMP Pulo Rondo yang sedang berlabuh.
Mumpung dapat VIP access, kami bisa menaruh tas kami duluan di kapal dan dapat foto-foto kapal selagi belum ada penumpang.
Lalu turun lagi ke ruang tunggu pelabuhan yang mulai ramai dan melihat-lihat Tourism Center yang sudah buka. Tourism Center ini buka setiap hari dan yang jaga mbak-mbak dua itu secara bergantian
Ada banner macam ini. *brb pakai jilbab putih*
Sekitar pukul 9.15 WIB, para penumpang mulai boleh antre naik ke kapal.
Tiket penumpang kelas bisnis katanya hanya dijual untuk sekitar 15 orang ternyata di atap kapal tempat bisnis berisi lebih banyak daripada itu. Kami saja bersembilan.
Banyak yang tidak dapat atap untuk berteduh. Dan semakin ramai karena penumpang VIP dan executive pada naik ke tempat penumpang bisnis untuk foto-foto.
Kapal Bahari Express mulai minggalkan Uleelheu menuju Sabang. Yeah… (*.*)/
Ada segerombolan lumba-lumba lewat. We are so lucky to see them.
Sabang sudah di depan mata.
Sekitar pukul 10.15 WIb kami sudah mulai berlabuh di Pelabuhan Sabang, Pulau Weh.
Ternyata mobil yang kami sewa adalah Inova dengan diisi 9 orang dewasa. 8 penumpang awal saja sudah besar-besar, ditambah penumpang tambahan yang menyusup. Saya jadi tidak enak.
Selagi menunggu Mas Putra berkoordinasi dengan supir mobil yang akan disewa karena oleh pemilik mobil seharusnya mobil tidak boleh diisi 9 penumpang tetapi setelah ditelepon Mas Putra dan dibilang penumpangnya kecil-kecil(?) jadi kami diizinkan. Pelabuhan siang itu panas kali.
Sewa mobil di sini bisa per 24 jam, tidak harian seperti biasanya berlaku. Tarifnya waktu itu Rp400.000,00 tidak termasuk bahan bakar. SPBU di Sabang ini berjarak sekitar 3km dari pelabuhan menuju kota.
Danau Aneuk Laot/Danau Anak Laut yang berada di pinggir jalan menuju Kota Sabang.
Jalan dari arah pelabuhan dekat bandara yang sudah tidak dipakai lagi.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit, kami tiba di Iboih. Saya yang belum menentukan tujuan mau menginap di mana jika tidak bertemu dengan kawan-kawan baru ini tentu senang-senang saja menginap di sini. Ada banyak homestay/penginapan di sini. Kita tinggal mau atau tidak mencari dengan medan yang naik turun dan cuaca yang panas seperti siang itu. Dari tempat parkir di sekitar masjid, jiak kita ke kanan maka akan ada banyak homestay yang menyediakan parkir mobil. Jika jika ke arah kiri, maka kita akan memasuki daerah yang agak berbukit menanjak, harus jalan kaki, tetapi lebih rindang.
Ada ATM BRI juga.
Kami saat itu sempat mencari-cari homestay ke arah bukit tetapi banyak yang sudah penuh.
Pemandangan Teupin Layeu saat memutuskan untuk kembali ke arah parkiran. Pemandangan dermaga di Teupian Layeu ini ternyata salah satu ciri khas Iboih saat kita cari di Google.
Karena capek dan panas mencari tempat menginap, kami makan dulu di Mont Kana yang letaknya di depan Teupin Layeu.
Menu makan siang di Mont Kana cukup bervariatif. Ada sayur bening yang enak banget buat siang yang terik.
Entah ikan apa ini.
Aku sih makan pakai ikan ini.
Ada juga telur dadar dan oreg tempe dan taoge.
Dan akhirnya kami berenam memutuskan untuk menginap di Arpen Bungalow (085260106230), sedangkan Sing, Maher dan Arjun di homestay yang letaknya lebih ke dalam daripada kami. Tarif di sini dengan fasilitas 2 bed, 1 extra bed, AC, tv, dan shower adalah Rp300.000/malam.
Pemandangan dari depan bungalow.
Pulau Rubiah di seberang yang melambai-lambai agar kami segera snorkling ke sana.
Look at the very beautiful sky and water.
Eye-gasm.
Sangat indah dipandang. Apalagi jika sudah menyentuh dan basah-basahan bersamamu. Ergghhh… Jauh dari pandangan tidak membuatmu jauh dari pikiran.
Berangkat menuju snorkeling di sekitar Pulau Rubiah minus Om Ikram yang lebih memilih diving.
Pada saat akan memulai snorkeling agar berhati-hati, karena di dekat dermaga tempat kita lompat ke air ada banyak bulu babi sehingga jika ingin aman lebih baik memakai sepatu katak. Di sekitar Pulau Rubiah banyak ikan bagus-bagus seperti Nemo dan yang mirip mujair tapi warna-warni yang aku tah tahu namanya dan tidak ada fotonya karena kami tidak membawa kamera antiair. Ada juga semacam belut listrik gede banget dan ikan lele raksasa yang yang membuatku buru-buru berenang menjauh dari area belut tersebut. Ada juga bagian yang arusnya besar tetapi terumbu karangnya sudah rusak sehingga tidak ada ikan berkumpul di situ. Saat langit semakin gelap dan sepertinya akan turun hujan, kami mulai menepi dan bersiap-siap kembali ke Iboih.
Kami memutuskan untuk menyewa kapal yang ada di Pulau Rubih untuk kembali daripada menunggu kapal yang akan menjemput kami padahal kapal tersebut masih digunakan oleh wisatwan yang masih diving dan tak tahu berepa jam lagi akan selesai. Biaya dadakan untuk kapal ini sebesar Rp100.000,00.
Di Master inilah kami menyewa alat snorkling seharga Rp40.000,00 per orang per hari yang kami gunakan hanya sekitar 2 jam. Untuk kapal, kami menyewa di tempat Om Ikram menyewa peralatan diving yang seharusnya Rp200.000,00 utuk PP tetapi kami gunakan hanya untuk sekali jalan.
Bersantai sambil minum kelapa, makan rujak buah dan gorengan dulu. Harga 1 buah kelapa di sini Rp10.000,00, rujak buah per piring Rp10.000,00 dan gorengan seperti pisang dan bakwan Rp2.000,00/buah. harga satu botol aqua 1,5 liter di sini Rp7.000,00-Rp8.000,00.
Sekitar pukul 17.30 WIB kami berangkat ke Tugu Kilometer 0 Indonesia untuk menyaksikan sunset. Waktu yang diperlukan dari Iboih ke sana adalah sekitar 30 menit dengan melewati kanan kiri hutan, tanjakan turunan yang berkelok dan agak licin tetapi jalannya mulus.
Full team from Medan.
Aku dengan cameo adik-adik lokal.
Om Ewin menuju puncak.
Sang Merah Putih berkibar di ujung barat Negeri.
What a stunning golden sunset just a moment before the rain started falling down.
Setelah hujan turun dan matahri benar-benar tenggelam, kami segera meninggalkan Kilometer O dan kembali ke Iboih. Di jalan, saya bilang bahwa tempat makan-makan adalah di Sumur Tiga dan akhirnya kami melewati Iboih menuju Sumur Tiga. Maafkan saya Pak Parno, yang saat itu menjadi relawan untuk mengemudikan mobil. Berdasarkan hasil googling, kami singgah di Kedai Kopi Pulau Baru yang konon menyediakan mie jalak khas Sabang yang enak. Pulau Baru ini ada di Jalan Perdagangan nomor 29 B, Sabang yang merupakan jalan 1 arah dan berada di kanan jalan dekat dengan gedung Bank Mandiri Syariah.
Kedai Kopi Pulau Baru.
This is it. Mie jalan seharga Rp15.000,00 per porsi yang enaaaaaak banget.
Teh tarik seharga Rp5.000,00 yang juga enak.
Dan martabak telor racikan ibu ini harganya Rp8.000,00.
Di samping Pulau Baru, ada Toko Kue Pelangi yang menjual aneka oleh-oleh khas Sabang seperti pia rasa kopi, pandan, durian, kacang yang sekotaknya harga Rp14.000,00. Tapi kami hanya bertanya-tanya saja dan jika jadi akan membeli besok pagi saja saat menuju pelabuhan.
Karena Om Ewin berencana untuk memancing setelah dari sini, maka kami membeli roti di Eni Bakery yang letaknya juga sederatan dengan Pulau Baru untuk membeli roti sebagi umpan dan pengganjal perut jika kami nanti lapar.
Jalan Perdagangan yang cukup ramai, tapi sayang kami tidak sempat mencicipi sate gurita.
Sekitar pukul 21.30 WIB sekembalinya dari Sumur Tiga, saya, Mas Putra, Om Ewin, dan Pak Syahril pergi ke dermaga Teupian Layeu untuk memancing dan mencari angin.
Sepi kali orang-orangnya.
Om Ikram, SIng, Maher, dan Arjun juga menyusul ke sini.
Memasang umpan roti. Walau pancingnya bagus tetapi ikan-ikan tidak mau makan roti. Karena buka Sari Roti kali ya umpannya.
Masih sabar tapi sudah agak jenuh karena lewat tengah malam tapi belum dapat ikan juga.
Sabtu, 3 Mei 2014 pukul 00.30 WIB akhirnya kami nongkrong minum jus mangga di Warung Mont Kana. Harga jus di sini Rp14.000,00 per gelas. Mangganya enak, semacam khas Sabang gitu. Di sini ada mbak Inong yang cukup cantik dengan mata indahnya yang melayani pelanggan. Sekitar pukul 01.00 WIB kami kembali ke bungalow dan tidur. Sudah dempor juga. 😀
Karena kebiasaan bangun pagi, saya sudah mandi dan nangkring di pantai yang gelap dari pukul 5.30 WIB dan pantai baru mulai terlihat sekitar pukul 6.15 WIB dan om-om masih pada tidur.
Sudah pukul 7 lebih tapi Iboih masih sepi begini.
Pagi itu, saya berjalan dari ujung ke ujung Iboih dan hanya mendapati sedikit warung yang buka untuk menjual sarapan. Salah satunya ibu penjual nasi gurih ini.
Dan Mont Kana yang sepertinya menjadi warung yang buka paling pagi dan tutup paling malam sudah siap menyambut para pelanggannya.
Saya makan nasi gurih, semacam nasi uduk dengan lauk ikan seharga Rp10.000 per porsi dan teh manis panas seharga Rp5.000,00 per gelas.
Juga makan timpan (yang bungkus daun pisang). Harga timpan, risoles, dan dadar gulung ini Rp2.000,00/buah.
Sekitar pukul 8.30 saat om-om sudah pada selesai mandi, saya jadi guide sarapan dan bilang hanya ada 2 warung nasi gurih yang sudah buka untuk sarapan. Kami kembali lagi ke Mont Kana untuk ke sekian kalinya. Di Mont Kana makanannya paling lengkap dan bervariasi. Pagi ada nasi gurih, lontong sayur. Siang ada banyak menu rames dengan ikan-ikan yang enak. Malam bisa untuk nongkrong dan ngopi-ngopi atau ngejus. Inong yang merupakan primadona warung ini juga sudah kembali menyambut.
Kali ini saya hanya foto-foto lontong sayur dan tidak ikut makan. Padahal pengen banget makan lagi. 😀
Sekita pukul 9.30 WIb kami meninggalkan Iboih menuju kota untuk mencari oleh-oleh.
Sekitar pukul 10.00 WIB setelah muter-muter lewat Jalan Perdagangan dan belok entahlah ke mana dengan bantuan GPS akhirnya kami tiba di Piyoh yang kata Mbak Tesa dan Kokoh merupakan tempat yang harus dikunjungi di Sabang untuk mencari oleh-oleh. Tapi belum buka, jadi diketok-ketokin pintunya sama bapak yang lagi lewat ini.
Piyoh ini ada di Jalan Cut Mutia nomor 11 Kota Sabang. Agak masuk-masuk jalan kecil gitu tempatnya. Setelah Googling, Piyoh juga ada di beberapa tempat di Sabang seperti di ujung jalan Perdagangan yang belok ke kanan.
Tempatnya sih kecil, tapi bagus dan pengaturannya oke. Saat itu saya beli kopi (bungkus bitu di belakang Si Ibu, di bawah kaos) dengan harga Rp37.000,00 untuk 250 gram kopi yang baunya enak (padahal saya tidak suka kopi).
Kualitas kaos yang dijual oke banget. Sablonan bagus, bahan enak dan cukup tebal. Harga kaos lengan pendek Rp75.000,00 per buah.
Aneka gantungan kunci lucu-lucu seharga Rp8.000,00.
Setelah dari Piyoh, kami melanjutkan perjalanan ke Jalan Perdagangan (lagi) untuk mencari oleh-oleh dengan harga yang lebih miring. Kami berhenti di sekitar Pulau Baru lagi dan singgah di toko Dhanur Souvenir & Fashion ini.
Banyak banget printilan berbau Sabang yang dijual di sini. Harga kaos di sini lebih miring tetapi kualitasnya juga lebih miring. Kaos untuk orang dewasa setelah ditawar bisa dihargai Rp35-40.000,00 per buah dan bisa lebih murah.
Kaos anak-anak bisa didapatkan dengan harga Rp20.000 per buah. Aneka kaos pantai warna-warni dan celana pantai super heboh. Saya dan Om ikram yang sama-sama tidak membawa celana panjang sebenarnya ingin membeli celanan pantai tetapi tidak mau yang senorak ini. Walhasil Om Ikram membeli satu-satunya celana putih polos yang tersembunyi di salah satu sudut toko seharga Rp50.000,00 dan saya sendiri belum membeli celana dengan pertimbangan toh masih belum balik hari ini jadi santai-santai saja nanti cari di toko lain.
Setelah membeli kaos dan oleh-oleh di Toko Kue Pelangi seperti rencana semalam, maka saya harus memisahkan diri dengan rombongan kawan-kawan baru ini. Saya mau melanjutkan santai-santi di sekitar Sumur Tiga. Singh, Arjun dan Maher mau kembali ke Iboih dengan menyewa motor. Om Ewin, Mas Putra, Om Ikram, Pak Syahril, dan Pak Parno akan kembali ke Banda Aceh menggunakan kapal cepat yang kemungkinan pukul 14.30 WIB.
Terima kasih banyak. Dadaaaaaaaaa……
Pukul 11.00 WIB. Saya yang sudah sendirian, menunggu becak motor di Jalan Perdagangan. Saat ada becak berhenti di depan ATM, saya bertanya ke Pak Bentornya dan katanya saya boleh naik tapi gabungan sama seorang ibu dan anaknya yang sedang mengambil uang di ATM.
Lewat Jalan Diponegoro lagi.
Si Ibu yang merupakan guru TK dan anak ini hanya minta diantar sampai Diknas sehingga saya diizinkan pak bentor untuk naik bentornya dan setelah mengantar si Ibu maka saya akan diantar ke Sumur Tiga. Si Adik semacam terkecut melihatku selfie. Atau melihat kelakuanku yang menyerobot becntornya?? -,-
Sampailah saya di Sumur Tiga.
Freddies Santai Sumur Tiga. Dari tulisan Freddies di pinggi jalan dan dekat tempat parkir, kita harus berjalan lewat gang kecil menuju lereng pantai untuk menuju Freddies.
Harga kamar di sini Rp290.000,00 untuk 2 orang dan yang untuk keluarga Rp325.000,00, belum termasuk pajak. Tapi sayang, saat itu semua kamar sudah penuh. Memang harus telepon dulu jauh-jauh hari seperti kata Kokoh.
Ada juga Casanemo yang bagus dan merupakan saudara Freddies, kata Kokoh.
Tempatnya juga di lereng pantai seperti Freddies.
Tarif Casanemo. Weekend Rp350.000,00, weekdays Rp300.000. Belum termasuk sarapan dan pajak. Tapi kamar di sini juga penuh. Lalalalala.
Dengan berat hati karena penginapan lain di Sumur Tiga tidak sesuai harapanku dan harganya juga lebih mahal daripada Freddies dan Casanemo maka aku kembali ke Kota Sabang dengan membayar Pak Bentor Rp40.000,00 untuk muter-muter mencari penginapan.
Pukul 13.05 WIB. Saya memilih untuk makan saja di Warung Nasi Aceh Tulen di Jalan Perdagangan (lagi) dan letaknya di seberang toko oleh-oleh Pelangi dan Dhanur Souvenir.
Makan nasi sepiring penuh, urap-urap, dan cumi bumbu kuning seharga Rp25.000,00
Pukul 13.15 WIB. Saat selesai makan saya tiba-tiba saya mendapat ide untuk mending kembali ke Banda Aceh saja. Saat itu saya langsung telepon Mas Putra mau minta tolong dibelikan tiket kapal pukul 14.30 WIB agar bisa bareng dengan mereka. Ternyata Mas Putra dkk sudah di atas kapal lambat yang akan berangkat pukul 14.00 WIB. Mereka tidak jadi naik kapal cepat biar bisa santai-santai menikmati laut, toh bus mereka masih nanti malam pukul 20.30 WIB. Saya bilang Mas Putra, saya akan segera menyusul ke pelabuhan dan semoga masih bisa mengejar kapal lambat mereka. Saya yang belum beli oleh-oleh buru-buru beli beberapa kotak pia di Toko Pelangi di seberang. Dan terpaksa beli celana pantai norak yang sebelumnya tidak mau saya beli.
Sudah pukul 13.35 WIB saat saya berjalan menyusuri Jalan Perdagangan tetapi tidak ada ada bentor yang melintas. Sekalinya ada eh ada penumpangnya yang membawa anak dan koper. Sata hentikan saja Pak Bentornya dan dia juga mau berhenti dengan pertimbangan cuma mau mengantar si ibu sampai hotel di ujung depan katanya.
Pukul 13.45 tiba di Hotel Citra, tempat Sang Ibu menginap.
Pukul 14.05 tiba di pelabuhan dan buru-buru bayar Pak Bentor Rp50.000,00 dan lari beli tiket seharga Rp25.000,00. Sepertinya aku penumpang nomor 2 terakhir yang naik dan Alhamdulillah banget kapal berangkat telat sedikit. Yang penting tetap sempat foto-foto juga. -,-
Saat naik kapal dan bertemu kawan-kawan di geladak, aku langsung diketawain keras-keras. Pfffftttt. Semacam labil, tidak ada tujuan, suka-suka, sak karepe dewe lah jalan-jalan kali ini. 😀
Om-om juga baru ngeh kalau aku bawa aneka printilan dari payung, koran bekas (yang bisa kami pakai untuk duduk di geladak), obat-obatan, juga sunblock bahkan senter.
Geladak kapal yang panas tetapi ada bagian untuk berteduh.
My hairy legs in a short pants. Untung sudah beli celana panjang walau norak abis.
Air lautnya bergradasi saat sudah mendekati Banda Aceh. Konon karena air sungai (yang agak keruh?) yang bersatu dengan air laut.
Pukul 15.45 WIB kapal mulai bersiap menurunkan penumpang.
Mas Putra sebelumnya telah menghubungi Pak Anton (081269786066), yang merupakan supir yang sering mengantar wisatwan untuk berkeliling Aceh, untuk mengantar kami jalan-jalan singkat hingga pukul 20.30 WIB nanti.
Tujuan pertama kami adalah Museum Tsunami Aceh.
Tour kilat di museum ini karena pukul 17.00 WIB museum bakal tutup.
What a stunning museum.
Saat museum tutup, kami melanjutkan ke PLTD Apung I yang kapalnya segede stadion. Kapal ini terbawa gelombang saat tsunami Aceh di Desember 2004 dari tengah laut hingga ke daratan.
Ada semacam runway yang mengelilingi PLTD Apung ini sehingga wisatawan bisa berkeliling dengan nyaman.
Lalu aku motretin adik-adik ini dan ku bilang nanti akan ku kirim via email salah satu adik.
Dan mereka pun gantian motretin kami.
Duduk-duduk santai setelah mengelilingi PLTD.
Melihat Monumen Tsunami di depan PLTD.
Menikmati es buah aneka rasa yang harganya Rp5.000,00 per gelas. Saya memilih es timun yang segaaaaaaar.
Di dekat es buah ada “stan Kanwil DJP Aceh”.
Om Ewin dan Om Ikram membeli kopyah di toko suvenir di depan PLTD Apung. Kopyah seperti ini harganya Rp20.000,00 saja lho. Padahal bagus-bagus.
Mampir ke loket penjualan tiket Bus Sempati Stars ke Medan di mana sebelumnya Mas Putra sudah memesan tiket via telepon untuknya, Om Ewin, Pak Syahril, dan Pak Parno sedangkan Om Ikram disusul istri dan anaknya ke Aceh.
Sambil menunggu maghrib, kami nonkrong di Dhapu Kupi yang katanya salah satu tempat nongkrong paling ngeheits di Banda Aceh.
Lantai 1 Dhapu Kupi yang ramai pengunjung.
Lantai 2 yang agak sepi dan bisa dipakai untuk merokok.
Daftar menu di Dhapu Kupi.
Kue dan kacang rebus sebagai teman minum kopi.
Saya akhirnya mencoba untuk minum kopi. Pilihan saya adalah ikut pilihan om-om. Sanger dingin. Kopi dingin favorit di sini. Walau awalnya agak menusuk lambung, tapi kopinya tidak membuat saya mual seperti biasanya jika mencium aroma kopi. Enaaaaak banget sanger dingin ini.
Pemandangan perempatan jalan lintas Sumatra dari lantai 2 Dhapu Kupi
Lewat depan GKN Aceh.
Sebelum azan Maghrib, kami sudah berada di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Semakin dekat dan semakin terharu akan salat di masjid ini.
Thats me with colorful beach pants.
Subhanallah indahnya bulan purnama di atas Masjid Baiturrahman.
Pukul 19.20 WIB kami tiba di Mie Razali yang terkenal.
Kami pesan menu yang sama biar lebih cepat memasaknya.
Mie daging yang bagiku enak bangeeeettt.
Pada saat pesanan kami datang, om-om sudah mulai makan dan saya masih sibuk foto-foto.
Tetapi saya yang habis lebih dulu. #kelaparan #rakus #pffffttt
Pukul 20.15 WIB kami tiba di terminal bus Banda Aceh dan lapor ke petugas bus.
Lalu beli oleh-oleh sale pisang. Satu bungkus sale pisang basah, dan 2 bungkus sale pisang kering khas Aceh yang enak banget dihargai Rp50.000,00.
Dan sekarang benar-benar time to say goodbye. Terima kasih banyak Mas Putra, Om Ewin, Pak Syahril, dan Pak Parno atas perjalanan yang sangat menyenangkan ini. Sampai jumpa kapan-kapan di Medan.
*masih terpanah dengan bus yang super mewah dan nyaman ini*
Setlah dari terminal, Pak Anton mengantar Om Ikram ke hotel tempat istrinya menunggu lalu mengantar saya ke Hotel Prapat yang sudah saya pesan lewat telepon sebelumnya. Hotel Prapat ini di JL. Jenderal Ahmad Yani, No. 19, Banda Aceh. Telepon (0651) 22156. Tarif per malamnya dari Rp100.000,00 hingga Rp250.000,00.
Malam itu semua kamar penuh sehingga aku hanya bisa memilih kamar deluxe seharga Rp200.000,00
Fasilitas kamar deluxe: 2 kasur, 2 bantal, tv, 2 handuk (yang cukup kasar dan agak ewwww).
Kamar mandi.
Hotel Prapat ini konon hotel legendaris dan murah meriah yang terletak cukup strategis. Di depan Hotel Prapat ada pusat jajanan dan makanan REX Peunayong yang lengkap dan selalu ramai tiap malam.
Bersebelahan dengan Hotel Prapat ada Hotel Medan yang lebih bagus.
Ngesot sedikit di ujung jalan depan Hotel Prapat ada Simpang Lima yang terkenal.
Pukul 22.00 WIB aku makan mie aceh lagi di sini. Entahlah ini Mie Aceh Simpang Lima yang terkenal enak banget itu atau bukan. Yang penting Simpang Lima. 😀
Lebih murah dari Mie Razali. Berikut daftar harganya.
Aku memilih setia. Oups. Aku memilih mie goreng biasa saja.
Mampir ke toko suvenir dekat hotel.
Banyak kain-kain bagus tapi berhubung tasku sudah penuh banget dan duit semakin menipis jadi cukup dilihat-liat saja.
*padahal biasanya selalu beli kain-kain kalau jalan-jalan* 🙁
4 Mei 2014 pukul 07.30 WIB setelah mandi saya menuju sekitar Rex Peunayong untuk mencari sarapan. Saya memilih makan di Warung Kak Nur yang pagi itu lumayan ramai dan harus antre duduk. Kak Nur ini jual nasi gurih, lontong sayur, soto, kue-kue, dan di sebelahnya ada warung lalapan juga.
Saya mencoba nasi gurih di sini dengan lauk dendeng.
Enaaaak banget nasi gurihnya. Jauh lebih enak daripada yang di Iboih. Dendengnya manisnya seperti senyumanmu. Nasinya gurih dan nikmat seperti ucapanmu. Dipandangnya pun juga enak seperti memandang mata indah di balik kacamatamu. Tapi di sini aku tanpamu. #stres
Pukul 8.15 WIB setelah makan saya mencari becak motor yang mau mengantar saya jalan-jalan entahlah ke mana. Walau sudah bawa peta wisata dan peta kuliner Banda Aceh, saya lebih suka medadak dan rada ngawur saja tujuan yang akan saya kunjungi. Ada seorang bapak becak motor sudah lumayan tua dan terlihat cukup ramah yang standby di dekat Hotel Prapat langsung saya profil untuk mengantar saya jalan-jalan. Saya bilang ke Bapak itu untuk mengantar ke mana saja Bapak mau mengajak saya. Dan Bapaknya mengajak saya ke Boat on the Roof, Tsunami Heritage. Letak tempat ini agak jauh di pinggiran kota Banda Aceh, di daerah Lampulo. Selagi di jalan menuju Boat on the Roof, saya baru bertanya ke Bapak ini kira-kira berapa saya harus bayar jika saya minta diantar muter-muter bebas di Banda Aceh dan sekalian ke Bandara Sultan Iskandar Muda nanti sore. Setelah tawar menawar, dapatlah nilai Rp175.000,00 untuk paket 1 hari muter-muter ini. Dengan perhitungan kalau naik travel ke bandara atau mobil sewaan seperti punya Pak Anton harus bayar Rp80.000,00/orang. Jika naik bus Damri katanya agak susah dan lama. Dan berdasar pengalaman saya naik bentor di Sumatera Utara, maka harga tersebut sudah oke dan saya iyakan saja.
Kapalnya bisa naik ke atap rumah gitu. :0
Saat di Boat on the Roof, sang Bapak menawari untuk ke Makam Syiah Kuala yang lumayan sejalur dengan tempat ini tetapi semakin menjauh ke arah pantai di pinggir kota. Saya sih mau saja, toh sudah all in. Ternyata di kompleks pemakaman Syiah Kuala kebanyakan didatangi turis malaysia pagi itu. Saya hanya singgah sejenak dan tidak ikut berdoa di sekitar makam seperti yang dilakukan turis lain.
Setelah menjauh dari kota untuk 2 tempat tujuan, kami kembali ke kota. Kali ini sang Bapak mengajak saya ke Museum Aceh.
Menurut leaflet yang saya dapat, museum ini didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda oleh Gubernur H.N.A. Swart pada 31 Juli 1915 di timur Blang Padang. Pada tahun 1969, museum dipindah ke Jalan Sultan Alaidin seperti sekarang.
Di kompleks museum ini ada Rumoh Atjeh, gedung pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pameran temporer, perpustakaan, laboratorium, rumah dinas, dan gedung galeri.
beberapa koleksi Museum Aceh
Ada lonceng indah ini di depan museum.
Setalh dari museum, saya diajak ke Makam Sultan Iskandar Muda di dekatnya.
Halaman depan kompleks makam.
Makam Sultan Iskandar Muda.
Lalu intip-intip kompleks Pendopo Gubernur Aceh yang berada di hook dekat makam Sultan Iskandar Muda.
My ultimate bright coloured pants with matching “Good guy goes to Sabang, bad guy goes to hell” shirt. Untunglah kemarin beli kaos ini di Piyoh sehingga bisa dikombinasi. Karena celana kepanjangan, maka saya beri karet gelang pada pergelangan kaki dan saya linting ke atas sehingga kelebihan panjang yang hampir 20cm tidak mengganggu perjalanan saya. 😀
Sekitar pukul 10.00 WIB ketika akan diajak ke mana entahlah, saya melihat ada keramaian di Taman Putroe Phang. Kasihan juga sama si Bapak yang dari tadi nganterin muter-muter dan sekalian istirahat, maka saya mampir ke keramaian ini.
Ternyata sedang ada fashion show busana daur ulang pada acara Pekan Kreatif Banda Aceh 2014. Ibu ini memakai dress a la Prada S/S 2013. #dikeplak
Adik ini memakai couture collection dari kantong plastik cabai.
Kemoceng bulu ayam untuk koleksi fall 2014.
Ini lebih amazing, perpaduan tikar pandan dan kemoceng.
Baju tradisional Aceh dari medaur ulang sampah plastik.
Adik imut ini mamakai koleksi Vionet couture kah??
VIP access (padahal siapa pun juga boleh intip-intip backstage) ke adik SMK yang terlambat datang ini. Tutup botol dan daun-daun kering untuk koleksi musim panas syariah.
Setelah satu jam nongkrong nonton fashion show tanpa menunggu pengumuman pemenang, selanjutnya saya diajak ke Taman Sari Gunongan.
Gunongan (gunung tiruan) yang berada di Tamah Ghairah dan menjadi salah satu landmark Kesultanan Aceh yang tersisa dari penghancuran tentara kolonial Belanda. Pinto Khop atau gerbang pada pada bagian belakang istana merupakan pintu penghubung antara istana dengan Taman Ghairah (Taman Sari Gunongan).
Tujuan saya selanjutnya adalah ke Kerkhof yang merupakan kompleks pemakaman Belanda yang berada di samping Museum Tsunami Aceh.
Kompleks pemakaman yang terawat dan indah. Aku serasa wisata ziarah makam satu ke makam yang saja sih ini. SebenarnyaPak bentor menawariku ke makam Cut Nyak Dhien segala di jalan arah luar kota tapi terpaksa aku tolak. Biar banyak-banyak mengingat kematian sih ya, gak kebanyakan mikirin kamu yang sepertinya gak mikirin aku. #eh
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB sehingga saya memutuskan untuk check out hotel saja dulu, tapi mampir buat foto-foto di Thanks to the World Monument di Lapangan Blang Padang dulu.
Mampir sebentar di Tamn Sari yang searah jalan ke hotel.
Lalu foto di depan Balai Kota Aceh yang futuristik dan indah.
Pukul 11.50 saya tiba di Hotel Prapat untuk check out dan akan kembali ke Museum Tsunami untuk melanjutkan toru yang kemarin sore tidak bisa terselesaikan. This is it Bapak Bentor yang mengantarku berkeliling Banda Aceh.
Ada papan reklame MTQ XXXIII Kota Banda Aceh.
Ada 10 Program Pokok PKK
Saat sudah sampai di Museum Tsunami Aceh ternyata museumnya tutup dan akan buka lagi pukul 14.00 WIB. O yeah… gini nih kalau tidak memperhatikan dengan baik jadwal kunjungan museum. kemarin sore sudah buru-buru dan sibuk foto-foto sih jadi tidak memperhatikan jam buka, cuma tahu jam tutup. Pengunjung tidak diperkenankan membawa tas kecil dsb masuk ke museum.
Demi apapun mbok ya tolong agar parkiran sepeda motor jangan di depan tulisan Museum Tsunami Aceh. Merusak pemandangan. Sekian.
Museum Tsunami Aceh dilihat dari depan pintu masuk Kerkhof.
Akhirnya saya memutuskan untuk makan saja dulu. Terserah Pak bentor deh mengajak saya makan di mana.
Saya diajak makan di sebuah warung kecil di sekitar Jalan Cut Mutia yang menunya menggiurkan.
Di warung ini, pengunjung bebas mengambil nasi dan memilih lauk yang ada.
Dan minum kopi hitam. Demi apa ini saya jadi minum kopi lagi dan lagi.
Alhamdulillah sudah kenyang, saatnya membayar.
Saya: “Bapak, saya makan nasi pakai urap, terong dan gulai ikan serta Pak Bentor makan mie.”
Pak Penjual: “Gulai ikan yang mana?”
Saya: “Yang ada terongnya itu…”
Pa Penjual: “Oww.. gulai hiu.. itu Rp18.000,00 per porsi.”
Saya: *mlongo karena habis makan gulai hiu, binatang yang dilindungi*
Saya: “Berapa Pak semuanya?”
Bapak Penjual: “Rp34.000,00.”
Saya: *bayar sambil masih shock dan menyesal*
Lalu salat zuhur di Masjid Baiturrahman sambil menunggu Museum Tsunami buka lagi pukul 14.00 WIB.
Interiornya sangat indah dan bikin hati adem.
Saat duduk-duduk di halam masjid ini, saya baru telepon keluarga di Malang untuk mengabari bahwa saya sedang berada di Banda Aceh. Sebelumnya kan hanya bilang kalau mau jalan-jalan ke Medan pada saat akan terbang dari Jakarta. Padahal tujuan aslinya adalah Nias. -,-
Pukul 13.45 sudah tiba di Museum tsunami lagi untuk yang ke sekian kalinya. Ternyata di sekitar kolam ada bola batu untuk duduk-duduk sembari menunggu museum buka.
Jembatan di Museum Tsunami dari dekat kolam.
Bagian museum yang menampilkan nama-nama korban tsunami.
Lorong penghubung satu bagian dengan bagian lain.
karena kemarin sudah ke ke beberapa bagian museum, jadi siang ini karena juga buru-buru, langsung menuju beberapa bagian di lantai 2 dan 3 yang belum sempat dilihat. Minta difotokan mbak-mbak yang lewat mumpung masih sepi juga.
Ada galeri lukisan juga.
Sayang sekali saat itu ruang simulasi gempanya sedang mati.
Ada perpustakaan.
Masih kagum dengan museum yang sebagus ini.
Bola dunia raksasa.
Minta tolong ke mas-mas yang lewat untuk difotoin. 😀
Waktu sudah menunjukkan pukul 14.30 WIB, maka saya segera meminta Pak bentor untuk diantar ke bandara. Eh kata si Bapak mending kita ngopi-ngopi dulu, toh pesawat masih pukul 16.30 WIB. Akhirnya mampirlah kami di Warkop Solong yang katanya enak banget kopinya.
Wakopnya ramai juga ternyata.
Tempat meracik kopi dan kasir.
Menikmati secangkir kopi hitam lagi. Alhamdulillah ya sudah tahan kopi. Secangkir kopi dihargai Rp5.000,00 dan sebuah kue Rp1.000,00.
Karena rasa kopinya enak banget maka aku membeli sedikit bubuk kopi Solong Ulee Kareng untuk ku kirim ke keluarga di Malang. Walaupun bungkusnya biasa tapi rasanya luar biasa. Hai kamu yang tidak suka kopi, sepertinya kamu bakal cocok minum kopi ini. Apalagi minum kopinya sama aku.
Dan senar saja, karena tidak ada macet maka sekitar pukul 15.25 kami sudah tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda. Saya berpamitan dan menyerahkan uang Rp175.000,00 ke si Bapak. Terima kasih banyak, Pak.
Atm centre di Bandara Sultan Iskandar Muda
Di ruang tunggu bandara sore itu cukup ramai karena habis long weekend. Mbak-mbak penumpang Lion Air ini sepertinya satu tujuan ke Jakarta dan mereka sepertinya juga satu institusi cuma beda kantor dengan saya. Dan sama-sama dari Sabang juga. #ngupingbanget
Pukul 16.20 WIB penumpang diizinkan mulai masuk pesawat, dan seperti biasa, setiap ada kesempatan untu masuk duluan maka saya akan selalu masuk yang pertama. Pesawat Lion Sore itu terlihat baru dan lebih bagus daripada pesawat Lion lain yang pernah saya naiki.
Kembali ke ibu kota. Kembali ke realitas.
Ini bukan pemandangan dari Wings Air saat melintasi daratan Sumatra menuju Samudra Hindia menuju Nias seperti seminggu yang lalu.
Singgah sejenak untuk transit di Kualanamu.
Pukkul 21.00 WIB si Lion mendarat di Soekarno Hatta. Berakhir sudah liburan, tetapi tidak libur sama sekali libur memikirkanmu, kali ini. Sampai jumpa lagi kubikel. Kamu pasti kangen aku.